Oleh: Wahyu Jatmiko, S.Pd.
Era disrupsi teknologi yang semakin maju saat ini memengaruhi berbagai bidang kehidupan, terlebih dunia Pendidikan, terlebih pada kondisi pandemi seperti sekarang ini. Semua pihak yang terlibat, termasuk pendidik dan peserta didik, diharapkan mampu mengikuti perkembangan zaman yang begitu pesat. Mereka dihadapkan pada kondisi yang membutuhkan pemikiran tingkat tinggi, analitis, berani bergerak di luar dari rutinitas, dan tidak hanya manual yang hanya mengikuti kebiasaan yang ada selama ini. Kata disrupsi akhir-akhir ini muncul beriringan dengan istilah era Industri 4.0. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “disrupsi” diartikan sebagai “hal tercabut dari akarnya”. Fenomena disruption (disrupsi), merupakan situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacakacak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru, (Rizal, Republika.co.id, 2017). Boleh jadi dalam tatanan lama, bahwa semakin banyak pabrik, maka semakin banyak tenaga kerja terserap, sudah tidak berlaku. Prediksi ke depan muncul tatanan baru yaitu penggunaan robotrobot atau mesin untuk menggantikan tenaga manusia sehingga lebih murah, efektif, dan efisien. Akibatnya hilang banyak peluang pekerjaan karena digantikan oleh robot-robot dengan sistem kerja otomatis, akibatnya berimbas pada banyaknya pengangguran. Hal tersebut sulit dihindari, maka upaya mengikuti arus perubahan agar tidak terlindas menjadi sebuah keharusan dan tetap dapat menjalani kehidupan yang mampu bersaing secara global. Oleh karena itu, perlu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) sebagai generasi penerus bangsa melalui pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ( KBBI), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Inti pendidikan di sekolah adalah prosesnya melalui pembelajaran yang berlangsung di kelas. Hal itu menyebabkan mutu proses pembelajaran di kelas menjadi prioritas. Mutu dalam proses pembelajaran tentunya berkaitan langsung dengan kemampuan pendidik dalam mengajar dan mengelola pembelajaran di kelas. Sehingga pada perubahan kurikulum 2013 ini, diharapkan yakni perubahan cara pendidik dalam mengajar. Di antaranya yang sangat penting adalah perubahan pembelajaran yang selama ini berpusat pada pendidik ( guru ) kepada pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik ( student centered ). Kurikulum sekarang ini menyebabkan peran pendidik di kelas tidak lagi seperti dahulu, berpusat pada pendidik ( teacher centered ), namun bergeser yakni kurikulum yang
pembelajarannya berpusat kepada peserta didik (student centered) menuntut agar pendidik yang selama ini banyak menggunakan metode berceramah di depan kelas harus dikurangi. Peserta didik dalam hal ini mencari tahu dan memecahkan masalah sendiri persoalan-persoalan materi yang diberikan pendidik dalam proses pembelajaran. Lalu bagaimana peran pendidik di kelas saat ini? Sebuah pertanyaan menggelitik, “Masih diperlukankah pendidik berdiri di kelas saat ini?” Sebuah pertanyaan yang membuat kita mulai berpikir. Di era saat ini yakni era disrupsi, sebuah era yang menunjukkan telah terjadi perubahan yang fundamental dan mendasar dalam tatanan hidup manusia. Era ini ditunjukkan dengan evolusi teknologi yang menyasar sisi atau celah kehidupan manusia. Orang menganggap era ini disebut era revolusi industri 4.0. Yang pasti, era yang saat ini menjalar di hampir seluruh dunia adalah era ketika industri digital menjadi sebuah paradigma dan acuan dalam tatanan kehidupan ini. Sitorus (2018) menyebut istilah pendidikan 4.0, untuk mengimbangi era disrupsi (era industri 4.0). Ciri utama pendidikan 4.0 adalah pemanfaatan teknologi digital dalam proses belajar mengajar (cyber system), sehingga transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan secara kontinyu tanpa harus selalu tatap muka di ruang kelas. Dengan perkataan lain, materi pembelajaran dapat sampai kepada peserta didik setiap waktu tanpa dibatasi ruang dan waktu. Strategi pengelolaan pendidikan 4.0 agar SDM tetap sukses di era disrupsi, antara lain; Pertama, menyiapkan perangkat teknologi digital untuk pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM). Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas komputer yang telah dimiliki masing-masing lembaga pendidikan. Sebagian besar lembaga pendidikan memiliki komputer yang biasanya untuk Ujian Berbasis Komputer. Bila komputer tidak memenuhi, dapat memanfaatkan handphone yang terkoneksi internet. Lembaga pendidikan hanya menyediakan koneksi internet yang memadai. Kedua, menyiapkan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini sudah dilakukan dengan melakukan pergantian dan revisi kurikulum beberapa kali mengikuti perkembangan zaman, bahkan Lembaga pendidikanpun harus menyusun kurikulum Darurat di masa pendemi saat ini. Kurikulum secara nasional telah ditentukan, tetapi lembaga pendidikan dapat melakukan penambahan sesuai keadaan lembaga masing-masing, sehingga dikenal dengan istilah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pada saat ini secara umum yang digunakan adalah kurikulum 2013 edisi revisi. Ketiga, memastikan para pendidik memiliki kecakapan dalam memanfaatkan IT untuk proses pembelajaran. Peserta didik dapat berkonsultasi setiap waktu, tidak tergantung dalam ruang kelas. Sangat perlu dilakukan pelatihan pemanfaatan teknologi digital dalam pembelajaran. Pendidik juga dituntut melakukan perubahan pendidikan yaitu keluar dari zona aman dan nyaman yang sudah lama dilakukan untuk membentuk tatanan baru pendidikan sesuai kemajuan zaman. Sebagai contoh: bila pendidik melakukan PBM dengan menjelaskan berbagai materi, maka peserta didik akan merasa jenuh, bahkan terkesan bahwa pendidik tersebut ketinggalan zaman karena materi yang dijelaskan sudah dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dari internet maupun dari buku elektronik
Pendidik dapat membangun tatanan baru dengan membentuk kelompok diberi “masalah yang berhubungan dengan materi yang sedang dibahas”, didukung ilustrasi yang meyakinkan dengan memanfaatkan IT. Peserta didik mencari solusi dari permasalahan yang diberikan dengan mengumpulkan informasi yang dapat diakses melalui internet atau buku. Hasilnya dapat dipresentasikan atau dipertanggungjawabkan kelompok dalam diskusi kelas. Bisa saja permasalahan yang diberikan sama, tetapi solusi yang diajukan (hasil kerja kelompok) berbeda. Hal ini patut dihargai dengan diberi kesempatan kelompok, untuk membuktikan hasil belajar mereka dengan mengungkapkan argumen yang mendukung bahwa solusi yang dikemukakan adalah tepat. Kebiasaan pendidikan tatanan baru dengan memberi permasalahan terbuka dan menantang kategori HOTS ( High Order Thinking Skill) akan melatih peserta didik untuk berfikir lebih kritis dan kreatif. Keempat, penilaian secara outentik. Penilaian yang dilakukan pendidik, lembaga pendidikan maupun pemerintah hendaknya sejalan dengan arah perkembangan zaman yang begitu pesat berkembang. Seyogyanya penilaian yang dilakukan dapat menghargai peserta didik dengan keunikan masing-masing. Penilaian secara menyeluruh dan rinci dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor dapat mengarahkan peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki demi kesuksesan bersaing secara global. Generasi penerus merupakan aset bangsa yang mewarisi keberlangsungan suatu negara. Pendidikan yang tepat sesuai perkembangan zaman dapat mengikis dampak negatif di era disrupsi dan menyiapkan generasi penerus agar mampu serta siap bersaing secara global. Bayangkan bahwa para peserta didik sekarang tak memiliki jarak dengan gawai cerdasnya. Mereka mengerjakan banyak hal dengan gawainya itu. Akses informasi yang luar biasa dapat menjawab persoalan materi yang diberikan pendidik. Bertanya kepada pendidik sudah bukan lagi pilihan atau prioritas. Google dan Yahoo menjawab lebih cepat. Pembelajaran lewat digital lebih mengasyikkan bagi peserta didik. Hal ini menjadi penguat anggapan jika pengajaran pendidik di kelas tidak mengasyikkan maka gawai adalah pilihan bagi peserta didik karena dianggap jauh lebih asyik. Inilah tantangan tersendiri bagi pendidik. Maka dari itu, sejalan dengan amanat permendikbud nomor 22 tahun 2016 tentang standar proses yang menyatakan proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; pendidik dituntut untuk menciptakan suasana pembelajaran yang inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira dan berbobot. Atau dikenal “paikem gembrot”. Tentu era industri digital, informasi sangat berlimpah sehingga berbagai macam kualitas informasi bertumpuk menjadi satu. Dari informasi penting, kurang penting bahkan tidak penting bercampur aduk menjadi satu. Maka peserta didik harus dapat menggunakan informasi dengan bijak dan hati-hati. Salah satu “paikem gembrot” tersebut adalah peran pendidik sebagai pendorong peserta didik agar mampu berpikir kritis. Sehingga di era disrupsi yang serba instan ini, peserta didik harus mampu mencari, memilah, memilih, mengambil dan mengkritisi informasi agar tidak terjerumus ke dalam informasi salah. Semua itu tentunya perlu bimbingan para pendidik. Maka peran pendidik di era disrupsi ini sangat urgent.
Oleh pendidik, peserta didik didorong memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) atau HOTS. Sehingga peserta didik tidak lagi sekadar mampu mengetahui, memahami, dan mengaplikasikan informasi tetapi juga mampu menganalisa, mengsintesa, dan mengevaluasi informasi. Penyebab bangsa maju satu diantaranya adalah membekali peserta didik memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, inilah tugas pendidik. Mungkin menjadi hal yang wajar adanya berita hoax atau berita palsu yang tumbuh subur salah satunya merupakan dampak dari masyarakat kita belum terbiasa berpikir tingkat tinggi. Disrupsi membuat pergeseran pola pembelajaran yang semakin familiar dengan pembelajaran berbasis digital. Sehingga penggunaannya oleh peserta didik perlu dipantau dan bimbingan dari para pendidik. Pendidik dan peserta didik perlu melek teknologi. Terlebih bagi pendidik millenial jangan sampai tertinggal oleh pesatnya kemajuan teknologi informasi apalagi sampai gaptek (gagap teknologi). Disamping itu, Penguatan pendidikan karakter sebagai upaya untuk membentuk manusia berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, religius, dan social, juga harus terus diupayakan. Penanaman pendidikan karakter kepada peserta didik memerlukan keteladanan dan contoh dari figure para pendidik. Pepatah mengatakan “baik bangsa karena budi, rusak budi bangsa binasa” maka rusaknya budi pekertilah yang membuat bangsa hancur.
Di era disrupsi yang serba digital ini, begitu pentingnya seorang pendidik menumbuhkan dan membentuk karakter peserta didik guna memanfaatkan teknologi dengan tepat dan bijak dalam berteknologi. Sikap transfer of values atau keteladanan pendidik kepada peserta didik harus dilakukan dalam bentuk pengamalan sikap dan nilai-nilai luhur. Pepatah mengatakan “orang bukan melakukan apa yang anda katakan tetapi apa yang anda lakukan.” Hal ini menunjukkan para pendidik masih memiliki peran penting di era disrupsi digital. Jika kita kembali ke pertanyaan “masih diperlukankah pendidik berdiri di kelas saat ini?” maka kita perlu merenung yakni sesuatu seperti sikap empati pada orang lain, rasa tanggung jawab, menghargai orang lain, religius, santun dan rendah hati, kesederhanaan dan keikhlasan, kerja keras dan jujur, serta mencintai sesama itu semua tidak ada dalam gawai cerdas. Semua itu ada pada keteladanan dan pembiasaan yang ditunjukkan oleh para pendidik. Dapat dipastikan, Para pendidik masih sangat dibutuhkan untuk berdiri di dalam kelas demi memberikan keteladanan dan pembiasaan untuk menyongsong era revolusi industri 4.0. dan menyiapkan calon-calon pemimpin di masa depan yang membawa bangsa ini menjadi maju dan berperadaban tinggi serta siap berkompetisi secara global. PEMBELAJARAN DI ERA DISRUPSI Era disrupsi memberi dampak yang cukup luas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tuntutan dalam penyelenggaraan pembelajaran. Salah satu tantangan nyata tersebut adalah bahwa pendidikan hendaknya mampu menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi utuh dan dengan proses pembelajaran baru yang terpusat pada peserta didik (student centered) dan menggunakan teknologi dengan jangkauan tak terbatas, melewati batas ruang kelas, dan bahkan belajar dari negara lain, yang memungkinkan peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara gratis.
Kompetensi era disrupsi merupakan kompetensi utama yang harus dimiliki peserta didik agar mampu berkiprah dalam kehidupan nyata pada masa mendatang. Pembelajaran yang mendukung menjadi semakin penting untuk menjamin peserta didik memiliki keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media informasi yang dibutuhkan di dunia usaha dan dunia industri. Berdasarkan Litbang Kemendikbud 2013, abad yang akan datang ditandai dengan banyaknya,1) Informasi yang tersedia dimana saja dan dapat diakses kapan saja, 2) Komputasi yang semakin cepat, 3) Otomasi yang menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin; dan 4) Komunikasi yang dapat dilakukan dari mana saja dan kemana saja. Oleh karena itu menghadapi kondisi tersebut, model pembelajaran era disrupsi diklasifikasikan sebagai berikut:
Instruction should be student-centered (Information) Pengembangan pembelajaran sebaiknya menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Peserta didik ditempatkan sebagai subjek pembelajaran yang secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya. Peserta didik tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan pendidik, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di sekitar masyarakat. b. Learning should have context, not komputasi Materi pembelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Pendidik mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terhubung dengan dunia nyata (real word), dan pembelajaran era disrupsi diarahkan pada merumuskan masalah yang ada bukan hanya menjawab masalah. Pendidik membantu peserta didik agar dapat menemukan nilai, makna dan keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Pendidik melakukan penilaian kinerja peserta didik yang dikaitkan dengan dunia nyata. c. Schools should be integrated with society not Otomasi Pembelajaran diupayakan menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkungan masyarakat, sebagai upaya mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Pembelajaran sebaiknya juga dapat memfasilitasi peserta didik untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya secara langsung. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana peserta didik dapat belajar mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan social dan dapat melakukan pekerjaan spesialis tidak lagi pekerjaan- pekerjaan rutin. Pembelajaran diarahkan untuk melatih berfikir analitis (pengambilan keputusan) bukan berfikir mekanistis (rutin) d. Education should be collaborative and Communication Pembelajaran dikembangkan dengan kolaborasi dan komunikasi.
Peserta didik harus diajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain. Berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, peserta didik perlu didorong untuk dapat berkolaborasi dengan rekan-rekan di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, peserta didik perlu diajarkan bagaimana menghargai kekuatan, kekurangan, dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dan bijak dengan orang lain. e. Penerapan pembelajaran melalui internet (e-learning). Strategi penggunaan e-learning untuk menunjang pelaksanaan proses pembelajaran, diharapkan dapat meningkatkan daya serap dari peserta didik/ mahasiswa atas materi yang diajarkan; meningkatkan partisipasi aktif dari peserta didik; meningkatkan kemampuan belajar mandiri peserta didik; meningkatkan kualitas materi pendidikan dan pelatihan, meningkatkan kemampuan menampilkan informasi dengan perangkat teknologi informasi, dengan perangkat
biasa sulit untuk dilakukan; memperluas daya jangkau proses pembelajaran dengan menggunakan jaringan komputer, tidak terbatas pada ruang dan waktu. Menurut Koswara (2006) ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat diterapkan dengan menggunakan teknologi e-learning yakni sebagai berikut : 1. Learning by doing. Simulasi belajar dengan melakukan apa yang hendak dipelajari; contohnya adalah simulator penerbangan (flight simulator), dimana seorang calon penerbang dapat dilatih untuk melakukan penerbangan suatu pesawat tertentu seperti berlatih dengan pesawat yang sesungguhnya. 2. Incidental learning. Mempelajari sesuatu secara tidak langsung. Tidak semua hal menarik untuk dipelajari, oleh karena itu dengan strategi ini peserta didik/ mahasiswa dapat mempelajari sesuatu melalui hal lain yang lebih menarik, dan diharapkan informasi yang sebenarnya dapat diserap secara tidak langsung. Misalnya mempelajari geografi dengan cara melakukan “perjalanan maya/virtual” ke daerah-daerah wisata. 3. Learning by reflection. Mempelajari sesuatu dengan mengembangkan ide atau gagasan tentang subyek yang hendak dipelajari. Peserta didik/Mahasiswa didorong untuk mengembangkan suatu ide atau gagasan dengan cara memberikan informasi awal dan aplikasi akan “mendengarkan” dan memproses masukan ide/gagasan dari mahasiswa untuk kemudian diberikan informasi lanjutan berdasarkan masukan dari peserta didik. 4. Case-based learning. Mempelajari sesuatu berdasarkan kasus-kasus yang telah terjadi mengenai subyek yang hendak dipelajari. Strategi ini tergantung kepada nara sumber ahli dan kasus-kasus yang dapat dikumpulkan tentang materi yang hendak dipelajari. Peserta didik dapat mempelajari suatu materi dengan cara menyerap informasi dari nara sumber ahli tentang kasus-kasus yang telah terjadi atas materi tersebut. 5. Learning by exploring. Mempelajari sesuatu dengan cara melakukan eksplorasi terhadap subyek yang hendak dipelajari. Peserta didik/Mahasiswa didorong untuk memahami suatu materi dengan cara melakukan eksplorasi mandiri atas materi tersebut. Memasuki era globalisasi (era digital) di abad XXI, UNESCO merekomendasikan “empat pilar pembelajaran” untuk memasuki era globalisasi atau era digital ini suatu paradigma baru dalam sistem pendidikan, bahwa program pembelajaran hendaknya mampu memberikan kesadaran masyarakat agar mau dan mampu belajar (learning know or learning to learn). Bahan belajar yng dipilih mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada peserta didik (learnig to do) dan mampu memberikan motivasi untuk belajar dalam era digital sekarang ini dan masa mendatang (learning to be). Pembelajaran di era digital ini tidak cukup hanya suatu ketrampilan untuk dirinya sendiri melainkan tercakup didalamnya suatu ketrampilan untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dengan suatu semangat kesamaan dan kesejajaran (learning to live together) ( Anwar, 2004:5) Sebagai sebuah metode atau strategi dalam pembelajaran , e-learning memiliki beberpa karakteristik, yaitu : a. Memanfaatkan jasa teknologi elektranik, dengan teknologi elektronik ini guru/dosen dan peserta didik/mahasiswa dapat berkomunikasi relatif mudah tanpa dibatasi oleh ruang maupun waktu. b. Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials), sehingga materi pembelajaran tersebut dapat diakses kapan saja, dimana saja. c. Jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar, dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di internet. d. Menggunakan jasa internet sebagai media utama. Internet memberikan sumber belajar dan strategi dalam proses pembelajaran di era digital. (Gartika R dan Rita R, 2013:45). Sebagai sebuah metode atau strategi dalam pembelajaran, e-learning juga memiliki beberapa manfaat, yaitu : a. melalui e-learning, peserta didik/mahasiswa dapat mengakses pengetahuan setiap saat tak terbatas waktu dan tempat. b. melalui e-learning, peserta didik/mahasiswa dapat menjalin komunikasi melalui internet sehingga lebih banyak lagi pengetahuan yang dapat mereka peroleh. c. melalui e-learning, peserta didik/mahasiswa belajar lebih mudah dan menyenangkan. d. melalui e-learning, proses pembelajaran lebih interaktif dan inovatif. e. melalui e-learning, peserta didik/mahasiswa didorong untuk bereksplorasi melalui website- website yang tersedia, sehingga kreativitas dan rasa keingintahuannya terus bertambah. (Gartika R dan Rita R, 2013:69)
Pendidik bertindak sebagai fasilitator peserta didik dalam pembelajaran merupakan hal penting yang diharuskan. Sebab pembelajaran era disrupsi ini didefinisikan sebagai proses belajar yang dibangun untuk mengembangkan kreativitas berfikir yang dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya untuk meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Pembelajaran dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk memberikan stimulus, bimbingan, pengarahan dan dorongan kepada peserta didik agar terjadi proses belajar. Pembelajaran dalam definisi ini bukanlah sebuah proses pembelajaran pengetahuan semata, melainkan proses pembentukan pengetahuan oleh peserta didik melalui kinerja kognitifnya. Pembelajaran mengandung dua karakteristik utama yaitu: (1) proses pembelajaran melibatkan proses mental peserta didik secara maksimal yang menghendaki aktivitas untuk berfikir dan (2) pembelajaran diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir peserta didik yang pada gilirannya kegiatan berfikir itu dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. Pembelajaran bukan hanya dilakukan sebagai transfer pengetahuan melainkan kegiatan yang harus dilakukan peserta didik secara aktif dalam upaya membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya (Abidin, 2014:1). Pada era disrupsi, pembelajaran seolah-olah semuanya tergantung pada teknologi informasi dan komputasi, namun ada beberapa hal pada pembelajaran yang dapat dilaksanakan tanpa menggunakan teknologi tersebut. Meskipun teknologi informasi dan komunikasi adalah katalis penting untuk memindahkan pembelajaran dari pencarian informasi dimana saja dan kapan saja ke penyerapan pengetahuan namun hal tersebut merupakan alat bukan penentu hasil dalam proses pembelajaran.
#GuruHebatBangsaKuat